KERAJAAN
BULELENG DAN KERAJAAN
Kerajaan
Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng adalah suatu
kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut
berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan
yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan
orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada
orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan
sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar.
Hal itu menandakan Bali telah berkembang.
Dalam
sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit.
Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang
sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang
didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang
lain.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa
(Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704,
Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling
berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka
pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780.
Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri
Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang
berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali
pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I
Gusti Ketut Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan
sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih/Panglima Perang I Gusti
Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan
angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849
Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat
dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Wangsa Warmadewa
Dinasti
Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Menurut riwayat lisan
turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya disebut-sebut dalam
prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai raja Bali pertama yang
disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini, Sri Kesari adalah
penganut Buddha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali.
Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa Kerajaan Medang
periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Berikut
adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam wangsa Warmadewa :
1. Sri Kesari Warmadewa (882M - 914 M)
2. Sang Ratu Sri Ugrasena (915 M - 942
M)
3. Sri Tabanendra Warmadewa (943 M -
961 M)
4. Candrabhayasingha Warmadewa (962M -
975 M)
5. Janasadu Warmadewa ( 975 M -988 M)
6. Udayana Warmadewa (989 M - 910 M)
7. Dharmawangsa Warmadewa (memerintah
Medang)
8. Airlangga (991-1049, penguasa
Kerajaan Kahuripan)
9. Anak Wungsu (1049M - 1077M)
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa.
Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak
Wungsu. Kelak, Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di
Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana
menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini
dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan
keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana digantikan putranya, yaitu
Marakatapangkaja.
Marakatapangkaja
adalah kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan
Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan
raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan
kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar
kerajaan.
Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan
menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya
yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut.
Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari
Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras,
asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah
seberang). Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada
masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran
yang berangka tahun 1065 M.
Kata-kata
yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra,
rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang
datang dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”
Sistem
perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat
tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang),
misalnya ma, su dan piling. Dengan perkembangan perdagangan laut antar pulau di
zaman kuno secara ekonomis Buleleng memiliki peranan yang penting bagi
perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti
Warmadewa.
Peninggalan Sejarah
a.
Prasasti Blanjong
Prasasti
Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.
Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau
Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M). Prasasti Blanjong
ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar,
Bali. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf
Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan
menggunakan bahasa Sanskerta.
b. Prasasti Penempahan dan Malatgede
Prasasti
Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ditulis pada bagian paro
bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913.
d. Pura Tirta Empul
Pura
tersebut terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M oleh
raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura ini, digunakan beliau untuk melakukan
hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi. Penamaan Pura Tirta Empul
diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta
Empul. Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta
Empul mengalir ke sungai Pakerisan.
e. Pura Penegil Dharma
Pura
Penegil Dharma didirikan dimulai pada 915 M. Keberadaan pura ini berkaitan
dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I
dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.
Posting Komentar