A. Kelahiran Ali Bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali
dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Rasulullah
SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25
tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau
bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang berarti
Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat
menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah
mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan
tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat
di sisi
Allah).
Kelahiran
Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAWkarena beliau tidak
punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan
bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan
menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu
Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga
sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW menerima
wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki
pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah
Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada
usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Rasulullah
SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Rasulullah dan
mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti
bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani
atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah
khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah
maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan
diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada
orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari
Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali
menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam
berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.[4] Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa
dan selalu hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu
berada di barisan paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.
B. Pembaiatan ali bin abi thalib sebagai khalifah dan kemajuan yang dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta
kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa
kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah
Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan
urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl
asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5] Sebenarnya Ali bin Abi Thalib
pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi
saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin
Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai beranggapan bahwa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk
memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya. Ali Terpilih
menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan
pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang
yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang
keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan
hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan
yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai
Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas
kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan
Ali.
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan
kebijakan politik seperti sebagai berikut:
1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai
nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
2. Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin
Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru
3. Mengambil kembali tanah-tanah negara yang
dibagi-bagikan Usman bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian
yang tidak diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul
maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab
dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah ditaklukkan
Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab
di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di
Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang
penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah kamu berlaku aniaya jika kamu mampu
berlaku adil, karena tindak aniaya akan berujung pada .....,
Syair-syair Ali akhirnya dibukukan dalam kitab
Nahj Al-Balaghah.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M)
tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama
memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontkan di berbagai wilayah
kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan
yang masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara
yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun
demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan
egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat
wajar dan pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat
pertentangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk memperebutkan
kekuasaan yang diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya Usman dan juga
pemecatan-pemecatan pejabat serta pengembalian harta milik yang tidak jelas.
C. PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI
THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena ia
adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak
diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang
memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai
lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi
murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia
dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan
terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana
kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib
mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari yang
loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang pada saat itu telah
berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat strategis dan
memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak tinggal
diam dan ingin melakukan pemberontakan.
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi
Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal kematiankhalifah Usman bin Affan dan
tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak
sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu
untuk memberontak terhadap Ali.
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar
pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu
atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali
lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai tindakan Ali
setelah menjadi khalifah, para sahabat senior
sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali
menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah
pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu
Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan
kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi
resistensi mereka terhadap Ali.
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya
Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun).
Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara
untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari
berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan
pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat
senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran
hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam
D.
PERANG JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah SAW
dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai unta. Perang
ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut
terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal
yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan
untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah
tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan terhadap Ali, sama
seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali.
Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan Zubair.
Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan ditegakkan.
Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri karena ia
didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari keluarga
Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya mereka pergi ke
Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat dukungan
masyarakat setempat.
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa
di Syria (Syam) Muawiyahtelah bersiap-siap dengan
pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya
untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga
orang tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah, dan Zubair
beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali
pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas
kematian Utsman, akan tetapi ada semacam
dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa
tuduhan selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali
memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan jabatan
khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang
tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin
Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus
mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap Ali.
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat
sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang
benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada
permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga
akhirnya ontanya dapat dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali
tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke
Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena
kenigninan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan
Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair
bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah
sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan
mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih
lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian
yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul
mereka.
E. PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali
dengan pasukan pendukungMu’awiyah berlangsung di Shiffin
dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan
Shafar tahun 37H/658M.
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam
hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang
menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan
atas kematian Utsmankepada Ali agar mengadili dan
menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam
kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali
tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan
yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua
pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan.
Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum tuntutan dari keluarga
Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga
menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak
diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad
bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir,
akhirnyaMu’awiyah mengadakan
kampanyebesar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan
dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali.
Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya
tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk
menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia
sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa
awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan olehMu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi
dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai peran yang sangat penting dalam
peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya
lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan
pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan
dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang
terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan
jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak
tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya
membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh
kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi
pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan
Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan
mengangkat Al-Qur’an.
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat
hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk
dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam
tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak
Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk
menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih
seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang
tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua
pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash
kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari
jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak
menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan
Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah
kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada
Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi
khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya
sebagai khalifah.
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya,
mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu
tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan
sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan
pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum
Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Kaum
khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi
kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali,
menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya
sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai
oleh Muawiyah menjadikan kekuatan
Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin
bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui
perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan
kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak
disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun
mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19
Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi
membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah
dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari
pembunuhan tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan
demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan
dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Syi'ah berpendapat
bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah
ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan
kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
Syi'ah selalu
menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi
Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan
kesejahteraan.
Sebagian Sunni yaitu
mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali
sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan
nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga
Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang
juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu
Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya.
Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka
menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan
sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang
ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat
lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka
bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel
hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu
al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship).
Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood.
Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan
catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan
pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari
Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib
Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab
lainnya.
Posting Komentar