MAKALAH CERITA PENDEK (CERPEN)

 

CERPEN

 

Fungsi, Struktur, dan Kaidah Teks Cerita Pendek

1. Fungsi Cerita Pendek

Teks cerita pendek termasuk ke dalam genre cerita atau naratif fiksional, seperti halnya anekdot. Keberadaannya lebih pada kepentingan memberi kesenangan untuk para pembacanya. Sebuah cerpen sering kali mengandung hikmah atau nilai yang bisa kita petik di balik perilaku tokoh ataupun di antara kejadian-kejadiannya. Hal ini karena cerpen tidak lepas dari nilai-nilai agama, budaya, sosial, ataupun moral.

a. Nilai-nilai agama berkaitan dengan perilaku benar atau salah dalam menjalankan aturan-aturan Tuhan.

b.    Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil karya cipta manusia.

c.    Nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan).

d.    Nilai-nilai moral berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan manusia dan masyarakatnya.

 

Perhatikan cuplikan cerpen berikut.

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya.Tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.

“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian.“Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”

“Ya. Kami juga berpendapat demikian.Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadah.”

“Ini sungguh tidak adil.”

“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”

“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh.“Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.” (Cerpen “Robohnya Surau Kami”, A.A. Navis)

 

Terdapat beberapa kandungan nilai di dalam cuplikan cerpen di atas. Nilai tersebut berkaitan dengan masalah keagamaan, yakni ketaatan seseorang dalam beragama (ibadah ritual) tidak menjamin seseorang terhindar dari kemungkinan masuk neraka.

Pemilihan latar neraka untuk cuplikan cerpen itu tampaknya bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan seperti itu. Begitu pun dengan penggunaan Saleh untuk nama salah seorang tokohnya, bahwa nama itu tidak selalu menggambarkan perilaku orangnya. Antara nama dengan perilakunya bisa bertolak belakang. Hal ini seperti yang ditunjukkan dalam kutipan cerpen itu: namanya Saleh, tetapi menurut pandangan Tuhan, tokoh itu sering berbuat salah sehingga akhirnya masuk neraka pula.

 

Struktur Cerita Pendek

Struktur cerita pendek secara umum dibentuk oleh (1) bagian pengenalan cerita, (2) penanjakan menuju konflik, (3) puncak konflik, (4) penurunan, dan (5) penyelesaian. Bagian-bagian itu ada yang menyebutnya dengan istilah abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.

a.       Abstrak (sinopsis) merupakan bagian cerita yang menggambarkan keseluruhan isi cerita.

b.      Orientasi atau pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan ataupun bibit-bibit masalah yang dialaminya.

c.       Komplikasi atau puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah yang dialami tokoh utama. Masalah itu tentu saja tidak dikehendaki oleh sang tokoh. Bagian ini pula yang paling menegangkan dan rasa penasaran pembaca tentang cara sang tokoh di dalam menyelesaikan masalahnya bisa terjawab. Dalam bagian ini, sang tokoh menghadapi dan menyelesaikan masalah itu yang kemudian timbul konsekuensi atau akibat-akibat tertentu yang meredakan masalah sebelumnya.

d.      Evaluasi, yakni bagian yang menyatakan komentar pengarang atas peristiwa puncak yang telah diceritakannya. Komentar yang dimaksud dapat dinyatakan langsung oleh pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu. Pada bagian ini alur ataupun konflik cerita agak mengendur, tetapi pembaca tetap menunggu implikasi ataupun konflik selanjutnya, sebagai akhir dari ceritanya.

e.       Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita. Bedanya, dengan komplikasi, pada bagian ini ketegangan sudah lebih mereda. Dapat dikatakan pada bagian ini hanya terdapat masalah-masalah kecil yang tersisa yang perlu mendapat penyelesaian, sebagai langkah “beres-beres”.

f.       Koda merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita, mungkin juga diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama kemudian.

Selain berdasarkan struktur dan kaidahnya, pengenalan teks cerpen dapat kita lakukan berdasarkan unsur intrinsik dan unsur ektrinsik.

a.       Unsur intrinsik adalah unsur yang berada langsung pada cerpen itu sendiri. Unsur intrinsik mencakup penokohan, latar, alur, tema, dan amanat.

b.      Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar cerpen, tetapi berpengaruh pada keberadaan cerpen itu. Unsur ekstrinsik mencakup latar belakang peristiwa dan jati diri pengarangnya.

Berikut contoh-contohnya.

Cara Penggambaran Tokoh

Contoh

Watak

a. Disebutkan langsung oleh pengarang

Tono memang penyabar, walaupun dihina temannya hampir setiap hari, ia tidak pernah sakit hati. Ia tetap bergaul, seolah-olah tidak ada masalah di antara mereka.

Tono: penyabar

b. Tanggapan, penceritaan oleh tokoh lain

Debby selalu memuji-muji adiknya, Lina, yang menurutnya paling pintar sedunia. “Adikku, sayang. Kamu memang pintar dan rajin. Kakak salut, kakak bangga. Tentu mama pun yang ada di dunia sana bahagia melihat prestasimu itu.

Lina: pintar, rajin

c. Dilukiskan melalui perkataan, pikirannya

Rere, “Aku ingin membeli pakaian yang seperi kamu beli kemarin. Gak apa-apa walapun harus pinjam sama kakakku. Yang penting pakaian itu bisa kumiliki.”

Rere: berlebihan, boros, ambisus

d. Dilukiskan melalui perilakunya

Radi duduk dengan santai walaupun di hadapannya ada mertua dan adik-adiknya. Kakinya diangkat sebelah ke tangan kursi di sebelahnya.

Radi: tidak tahu etika, sombong.

e. Digambarkan melalui keadaan lingkungannya

Bekas-bekas minuman dibiarkan berserakan di bawah ranjangnya. Sementara itu, bau asap rokok masih mengepul memenuhi ruangan kamar. Sepertinya bagi Dika kondisi kamarnya yang seperti itu sudah biasa.

Dika: jorok, pecandu minuman dan rokok

 

c. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang bersifat kronologis, dibangun oleh urutan waktu. Mungkin juga dibentuk oleh urutan keruangan atau spasial. Berdasarkan hal itu, kemudian dikenal adanya alur progresif atau alur maju. Dalam hal ini cerita bergerak runtut dari awal hingga akhir cerita (dari peristiwa A-B-C, dst). Ada pula cerita yang bergerak dari akhir cerita menuju awal (flash back: peristiwa C-B-A).

 

d. Tema

Tema adalah gagasan utama atau pokok cerita. Tema cerpen yang satu dengan cerpen lain, mungkin saja sama.

 

Amanat

Dalam cerpen, terkandung pula amanat atau pesan-pesan. Amanat suatu cerpen selalu berkaitan dengan temanya. Cerpen yang bertema kasih sayang, amanatnya tidak akan jauh dari pentingnya kita menebar kasih sayang kepada sesama. Cerpen yang bertema ketuhanan, amanatnya berkisar tentang pentingnya bertakwa pada Tuhan YME. Dengan pesan-pesannya itu, betapa berharganya cerpen. Kita memperoleh hiburan sekaligus pesan-pesan berharga untuk bisa menjadi lebih haik dalam kehidupan.

 

 

 

CONTOH CERPEN

SEBUAH RAHASIA

 

Amara bahagia sekali. Hari ini dia akan menyusul Adit, tunangannya ke Bali. Ini adalah mimpi yang dinantikan kenyataannya sejak lama. Sejak Adit memutuskan untuk kuliah di sana.

“Saat aku wisuda nanti, kamu akan menyusulku ke Bali. Di sana kita juga akan melakukan foto pre wedding dan sepulangnya kita dari Bali kita akan menikah.” begitu janji Adit saat itu.

Di bandara.
“Ma, pesawatnya masih satu jam lagi. Gimana kalau mama pulang duluan. Kan mama harus nyiapin buat arisan.”
“Bener, Ra, kamu ndak apa-apa kalau mama tinggal? Atau mama panggilkan kakakmu biar menemanimu dulu.”
“Ndak usah, Ma. Kak Rita kan masih repot ngurusin tokonya. Udah, aku sendiri ndak apa, Ma.”
“Ya sudah, kalau gitu hati-hati, ya. Ntar kalau sudah sampai di sana jangan lupa telepon mama.”
“Ya, Ma.” Amara kemudian mencium tangan serta pipi mamanya.

Amara menunggu pesawat di kafe bandara. Tiba-tiba seorang waitress menghampirinya.
“Mbak Amara Pitaloka?” tanya waitress itu memastikan.
“Iya, saya. Ada apa ya?”
“Ada orang yang ingin bertemu dengan Mbak di depan sana.” kata waitress itu sambil menunjuk seorang pria yang memakai topi, jaket kulit serta berkacamata hitam berdiri di depan kafe.
“Siapa, ya?” batin Amara. Tak lama kemudian dia menghampiri orang itu.

Amara mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia terbaring di tempat tidur. Tapi tempat tidur siapa dia tidak tau. Dia berada di tempat yang asing. Amara lalu bangkit lalu meraba telinga, leher dan tangannya. Perhiasannya tidak ada yang hilang. Bahkan koper dan juga tasnya juga masih utuh. Ini bukan perampokan maupun penculikan. Tapi kenapa Amara merasa ada yang hilang dari dirinya.

HP Amara berbunyi. Dia segera mengangkatnya.

“Ra.. kamu di mana? Mama telepon kamu tidak kamu angkat. Mama cemas. Kamu sebenarnya ada apa? Adit berkali-kali telepon kamu tapi tidak ada jawaban juga. Lalu Adit menelepon mama dan mama harus bilang apa juga tidak tau. Cepat pulang, Ra?”
Tut.. tut.. tut.. telepon ditutup.
“Ma..” Amara lirih memanggil mamanya. Dia menangis.

Lagi-lagi Amara mengecek handphonenya. Puluhan miscall, sms, bbm juga wa terpampang di sana. Di antara kesemuanya berasal dari Adit. Dilihat dari isi pesan-pesannya, dia sangat mengkhawatirkan Amara yang belum juga sampai di Bali. Padahal seharusnya Amara sudah sampai beberapa jam yang lalu.

“LOSMEN MELATI”
Begitulah kira-kira tulisan yang terpasang di dinding belakang meja recepcionist. Sang recepcionist nampak senyum-senyum ketika melihat Amara mendatanginya.

“Mbak, saya ingin tau bagaimana saya bisa ada di sini?” tanya Amara pelan.
“Tadi siang Mbak dibawa dua orang pria dalam kondisi pingsan. Mbak mabuk berat, ya?” recepcionist itu menggoda. “Tapi habis mabuk udah segeran kan? Hebat lo Mbak ini. Dua pria sekaligus. Biasanya yang ke sini cuma bawa satu pria.”
“Heh! Jaga mulut kamu, ya? Mau kutampar kamu!” bentak Amara penuh emosi.
“Eh, kalem aja, Mbak. Udah deh, ndak usah sok suci. Semua orang yang ke sini nadak ada yang suci. Termasuk Mbak!”
Amara naik darah. Dia menghampiri recepcionist yang genit itu dan hampir menamparnya. Tapi orang-orang yang ada di ruangan itu melerainya.

Sesampainya di rumah, Amara melangkah gontai menghampiri mamanya lalu memeluknya. Dia menangis sejadi-jadinya. “Ma.. kenapa kejadian ini menimpaku. Aku salah apa?” katanya dalam isak.
Mama mencoba menenangkan. Lalu meminta Amara bercerita.

Dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Amara masih sering mengunci diri di kamar. Telepon ataupun pesan-pesan dari Adit tidak digubrisnya. Dia sendiri tidak tau bagaimana harus menjelaskan. Dia menebak, paling mamanya sudah menceritakan pada Adit. Tapi setelah dipikir-pikir masalah ini harus diselesaikan. Sangat tidak adil kalau Adit harus menunggu dalam ketidakpastian.

Malam itu Adit ke rumah Amara. Amara memberanikan diri menemuinya.

“Ra, apa kabar?” sapa Adit.
“B-baik, Dit.” Amara menjawab dengan gugup.
“Kamu kenapa tidak mau mengangkat teleponku? Juga membalas semua pesan-pesanku? Ra, masalah ini harus kita hadapi. Harus kita selesaikan.”
“T-tapi, Dit, ini sangat memalukan. Ini aib.”
“Apapun itu, Ra, jangan jadi pengecut. Ini juga masalah kita. Jangan biarkan kita saling menunggu dalam ketidakpastian hubungan kita.”
“Sebenarnya aku memang berniat mundur dari kehidupan kamu. Karena aku yakin, kamu dan keluargamu pasti tidak bisa menerimaku yang sudah kotor ini. Meskipun ini juga bukan kesalahanku sepenuhnya, aku tetaplah tidak pantas bersanding denganmu. Aku sudah menjadi barang bekas.”
“Ra.. aku minta maaf. Sebenarnya kalau aku sendiri masih mau menerimamu. Tapi orangtuaku yang menolak. Aku sudah berusaha menjelaskan, tetapi orangtuaku keras kepala. Maafkan aku Ra, tidak bisa mempertahankan hubungan ini.”
“Kamu tidak perlu minta maaf padaku. Orangtuamu sudah bersikap benar, Dit. Kita hanya perlu menyadari mungkin hubungan kita hanya cukup sampai disini.”

Lima bulan kemudian. Perut Amara mulai membesar. Dia memutuskan untuk pergi ke luar Jakarta. Dia hanya ingin menghindari gunjingan-gunjingan yang selalu mampir di kesehariannya. Sebenarnya dulu dia sangat ingin menggugurkan kendungannya. Tapi dia merasa iba terhadap bayi yang tidak berdosa itu. Akhirnya dia mengurungkan niatnya.

Amara bersandar di kursi depan rumahnya sambil mengelus perutnya. Dihirupnya udara khas pedesaan untuk mengendorkan saraf-sarafnya yang menegang. Hingga beberapa saat kemudian seseorang lelaki datang menemuinya.

“Raga?” teriak Amara girang.
Lelaki bernama Raga yang ternyata adalah sahabat Amara itu lalu memeluk Amara. “Aku kangen kamu, Ra.” bisiknya kemudian.
“Aku juga, Ga. Kamu kemana aja sih selama ini? Hilang aja ditelan bumi.”
Raga melepaskan pelukannya. “Maaf, Ra. Aku terlalu sibuk membangun usahaku. Perjalanannya panjang dan berliku. Tapi syukurlah semua biasa diatasi dengan baik.”
“Aku ikut senang mendengarnya.”

“Ra, kemarin aku ke rumahmu. Aku bertemu mamamu. Mamamu sudah cerita semuanya. Termasuk tentang keberadaanmu sekarang. Aku ikut prihatin, Ra.”
“Beginilah aku yang sekarang, Ga. Aku akan menjalani kehidupan dengan anak ini saja. Dan kamu? Kenapa kamu sangat jahat, Ga? Dimana kamu saat aku butuh semua saranmu?”
“Maafkan aku, Ra. Aku sangat menyesal tidak ada di sampingmu saat kau butuhkan aku.”

Raga menggenggam tangan Amara. “Ra.. aku akan menikahimu.”
“Apa?” Amara terbelalak. “Tapi, Ga, aku ini kotor. Dan anak yang ada dalam kandunganku ini anak dari orang yang tidak bertanggung jawab.”
“Aku yang akan bertanggungjawab, Ra. Aku akan menjadi ayahnya. Memang aku tidak bisa menjanjikan materi. Namun yang bisa kujanjikan hanyalah cinta untukmu dan anakmu.”

Amara menitikkan air mata. “Terima kasih, Ga. Semua kebaikanmu biar Tuhan yang membalasnya.”
Raga kembali memeluk Amara. Dalam hati ia berkata, “Tuhan, ampunilah aku yang telah menyengsarakannya dan membuat hidupnya menderita. Tuhan, yang kutau ini hanyalah rasa cinta yang buta. Rasa tidak ingin kehilangan dan tidak ingin melihat dia dimiliki orang lain selain aku. Namun aku juga tau ini adalah kesalahan yang tidak seharusnya kuperbuat pada sahabatku sendiri. Ketidakadilan yang kulakukan padanya sungguh membuatku merasa telah menjadi manusia hina dan dosa. Maafkan aku sahabatku. Dan biarlah ini menjadi sebuah rahasia hidupku. Amara, bayi yang kau kandung itu adalah.. anakku.”

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama