SISTEM
PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE
Setelah menyatakan
mengundurkan diri sebagai presiden RI, Suharto menyerahkan kekuasaan kepada
Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie
diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang
baru di Istana Negara. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie,
kehidupan politk di Indonesia Mengalami beberapa perubahan. Masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie ditandai dengan dimulainya kerja sama dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
B.J. Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan memberikan
kebebasan dalam berekspresi. Beberapa langkah perubahan diambil oleh B.J.
Habibie, seperti liberalispartai politik, pemberian kebebasan pers, kebebasan
bependapat, dan pencabutan UU Subversi. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden
Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya
dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden
Soeharto, namun mengalami kegagalan. Pada tanggal itu pula, Gedung DPR/MPR
semakin penuh sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan tetap yaitu reformasi
dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei
1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto meletakkan
jabatannya sebagai presiden dihadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah
Agung. Pada tanggal itu pula, dan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Presiden
menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden,
serta pelantikannya dilakukan di depan Ketua Mahkamah Agung dan para
anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J.
Habibie sebagai presiden yang ke-3. Naiknya Habibie menjadi
presiden menggantikan Presiden Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum.
Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang berpendapat
inkonstitusional. Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan karena hukum yang
kita miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda. Diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie menjadi presiden
konstitusional, berpegang pada Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
"Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya,
ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Tetapi yang
menyatakan bahwa naiknya Habibie sebagai presiden yang inkonstitusional
berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Sebelum
presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di
depan MPR atau DPR". Sementara, Habibie tidak melakukan hal itu dan ia
mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR
yang bukan bersifat kelembagaan.
Dalam ketentuan lain
yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan bahwa sumpah dam
janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat Habibie menerima
jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji presiden
dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden dapat
dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih diduduki
dan dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya mengembalikan dulu
mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.
Apabila dilihat dari
segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah sah dan
konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab
perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan
dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional.
Apabila perbuatan hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional,
maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR tidak
memungkinkan untuk bersidang, karena Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu
mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan demikian, hal ini dapat dinyatakan
sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan sendiri oleh
DPR.[1]
Habibie yang menjabat sebagai
presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah-langkah yang
dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi dan
politik. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie sangat berhati-hati
terutama dalam pengelolaannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat mengancam
integrasi bangsa. Untuk menjalankan pemerintahan, presiden habibie tidak
mungkin dapat melaksanaknnya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri
dan kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie membentuk kabinet.
Pada tanggal 22 Mei
1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet
baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16
orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI),
Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diselenggarakan pertemuan pertama
kabinet habibie. Pertemuan ini berhasil membentuk Komite untuk merancang
undang-undang politik yang lebih longgar dalam waktu satu tahun dan menyetujui
pembatasan masa jabatan presiden yaitu maksimal 2 periode (satu periode lamanya
5 tahun). Upaya terebut mendapat sambutan positif, tetapi dedakan agar
pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda reformasi tetap muncul.
Pristiwa-pristiwa
penting yang terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Habibie adalah sebagai
berikut. 1. Pelaksanaan Pemilu 1999 Keluarnya
kebijakan kebebasan berekspresi ditandai dengan main banyaknya partai politik
baru yang terdiri. Partai-partai plitik tersebut bersiap menyambut datangnya
pemilu bebas pertama dalam kurun waktu 44 tahun. Pemilu 1999 bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan Presiden dan
wakilnya masih dilakukan oleh anggota MPR. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48
partai. Kampanyenya secara resmi dimulai pada tanggal 19 Mei 1999. Pada pemilu
1999, muncul lima partai besar yaitu, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan
(PDIP), Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN),. Suara terbanyak
diraih oleh partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebelum
berlangsungnya pemilu, para tokoh pemimpin Indonesia melakukan pertemuan di
kediaman K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur. Para tokoh tersebut adalah K.H.
Aburrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan
Hamengku Buwana X. Selanjutnya, pertemuan ini dikenal sebagai pertemuan
kelompok Ciganjur. Pertemuan ini menghasilkan seruan moral agar para pemimpin
lebih memikirkan nasib bangsa dan negara. 2.
Pembebasan Tahanan Politik Pemerintahan B.J. Habibie mengambil prakarsa untuk
melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Tiga hari setelah
menjabat sebagai presiden, Habibie membebaskan Sri Bintang Pamungkas dan
Muchtar Pakpahan. Tahanan politik dilepaskan secara bergelombang.akan tetapi,
Budiman Sujatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang
ditahan oleh pemerintah Orde Baru baru dibebaskan pada masa Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid. 3. Lepasnya Timor Timur
Sejarah kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah
Timor Timur dari Indonesia. Pada tanggal 3 Februari 1999, pemerintahan B.J. Habibie
mengeluarkan opsi terhadap masalah timor timur. Opsi pertama menerima otonomi
khusus atau tetap menjadi wilayah RI. Opsi kedua Merdeka dari wilayah
Indonesia. Untuk memutuskan masalah timor timur tersebut, diadakan jajak
pendapat yang diikuti oleh seluruh rakyat timor timur. Menurut hasil jajak
pendapat yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 sebanyak 78.5% rakyat timor
timur memilih untuk memisahkan diri atau merdeka dari indonesia. Pada nulan
oktober 1999 MPR membatalkan dekret 1976 yang berisi tentang integrasi timor
timur ke wilayah Indonesia. Selanjutnya otorita transisi PBB (UNTAET),
mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah timor timur sehingga kemerdekaan
penuh mencapai pada Mei 2002. 4. Munculnya
Beberapa Kerusuhan dan Gerakan Separatis Kerusuhan terjadi menyangkut kerusuhan
antar etnis dan antar agama. Kerusuhan antar etnis misalnya kerusuhan antar
etnis di cilacap dan di jember, serta kekerasan terhadap kaum pendatang madura
dikalimantan barat. Kerusuhan serupa juga terjadi dikampung-kampung dan
dikota-kota diwilayah Indonesia. Serangkaian peristiwa tragis terjadi di Jawa
Timur dari Malang Sampai Banyuwangi pada akhir tahun 1998. Tersebar isu adanya
segerombolan orang yang berpakaian ala Ninja mengancam ketentraman penduduk.
Selain itu, muncul ancaman sihir hitam (Santet) di wilayah Jawa Timur Dan
Ciamis. Beberapa kerushan terburuk terjadi pada konflik antar agama di Ambon.
Kerusuhan bersifat sparatis juga terjadi di Aceh dan Papua. Pada bulan Juli
1998, para demonstran Papua mengibarkan bendera organisasi papua merdeka (OPM)
di Biak. Pada bulan Mei 1999 oara demonstran dari masyarakat papua barat
menuntut kemerdekaan bagi tanah kemerdekaan mereka. Akan tetapi tuntutan
tersebut tidk mendapatkan duukungan dari kekuatan-kekuatan lain. Kerusuhan
terburuk di Papua terjadi pada bulan september 1999. Dalam kerusuhan tersebut,
penduduk setempat membakar gedung DPRD berseta gedung-gedung lain dan kendaraan
bermotor. 5. Sidang Umum (SU) MPR 1999 Pada bulan
Oktober 1999, MPR mengadakan sidang umum. Sesuai hasil keputusan SU Amin Rais
terpilih dan ditetapakan sebagai ketua MPR menyisihkan Matori Abdul Jalil dari
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Adapun akbar tanjung terpilih sebagai ketua
DPR.
Pada saat pemilihan
Presiden ada 3 tokoh yang mungkin sebagai calon presiden ketiga tokoh tersebut
adalah KH. Abdurrahman Wahid dari partai kebangkitan bangsa (PKB), Megawati
sokarno putri dari partai demokrasi indonesia perjuangan (PDIP), dan Yusril
Ihza Mahendra dari partai bulan bintang (PBB). Namun Yusril Ihza mahendra mengundurkan
diri sebelum diadakn pemungutan suara oleh anggota MPR. Pada saat pemungutan
suara KH. Abdurrahman Wahid mengungguli Megawati Sukarno putri dalam pemungutan
suara. Berdasarkan hasil tersebut KH. Abdurrahman Wahid ditetapkan menjadi
wakil Presiden RI mengalahkan Hamzah Haz dari partai persatuan pembangunan
(PPP) dalam pemilihan wakil presiden.[2] Pembaharuan yang dilakukan oleh B.J.
Habibie antara lain, 1.) Bidang Ekonomi Untuk menyelesaikan krisis
moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, B.J. Habibie melakukan langkah-langkah
sebagai berikut : · Merekapitulasi
perbankan. · Melikuidasi beberapa
bank yang bermasalah. · Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serikat hingga dibawah Rp.10.000,-.
·Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
· Merekonstruksi perekonomian
Indonesia. Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar
negeri. ·Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik. Monopoli dan
Persaingan yang Tidak Sehat. ·
Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.)
Bidang Politik · Memberi
kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak bermunculan
partai-partai politik yang baru sebanyak 45 parpol. ·
Membebaskan narapidana politik seperti Sri Bintang Pamungkas dan Moch.
Pakpahan. · Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen.
· Membentuk tiga undang-undang
demokratis yaitu,
(1) UU No. 2 tahun 1999 tentang
Partai Politik
(2) UU No. 3 tahun 1999 tentang
Pemilu
(3) UU No. 4 tahun 1999 tentang
Susduk DPR/MPR ·
Menetapkan 12 ketetapan MPR dan ada 4
ketetapan yang mencerminkan jawaban dari tuntutan reformasi yaitu,
(1) Tap No. VIII/MPR/1998 tentang
Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
(2) Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang
Pencabutan Tap No. II/MPR/1978 tentang Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
(3) Tap No. XII/MPR/1998 tentang
Pencabutan Tap No. V/MPR/1998 tentang Presiden Mendapat Mandat dari MPR untuk Memiliki
Hak-Hak dan Kebijakan di Luar Batas Perundang-undangan.
(4) Tap No. XIII/MPR/1998 tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Hanya Dua Kali
Periode.
3.) Bidang Pers Dilakukan
pencabutan pembredelan pers dan penyederhanaan permohonan SIUUP untuk
memberikan kebebasan terhadap pers, sehungga muncul berbagai macam media massa
cetak, baik surat kabar maupun majalah.
4.) Bidang Hukum Untuk
melakukan refomasi hukum, ada beberapa hal yang dilakukan dalam pemerintahan
B.J. Habibie yaitu, a) Melakukan rekonstruksi atau
pembongkaran watak hukum Orde Baru, baik berupa Undang-Undang, peraturan
pemerintah, maupun peraturan menteri. b) Melahirkan 69
Undang-undang. c) Penataan ulang struktur kekuasaan
Kehakiman.
5.) Bidang Hankam Di bidang
Hankam diadakan pembaharuan dengan cara melakukan pemisahan Polri dan ABRI.
6.) Pembentukan Kabinet
Presiden B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang diberi nama Reformasi
Pembangunan yang terdiri atas 16 menteri, yang meliputi perwakilan dari ABRI,
GOLKAR, PPP, dan PDI.
7.) Kebebasan Menyampaikan
pendapat Presiden B.J. Habibie memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat
di depan umum, baik dalam rapat maupun unjuk rasa. Dan mengatasi terhadap
pelanggaran dalam penyampaian pendapat ditindak dengan UU No. 28 tahun 1998.
8.) Masalah Dwifungsi ABRI
Ada beberapa perubahan yang muncul pada pemerintahan B.J. Habibie, yaitu :
· Jumlah anggota ABRI yang duduk di
kursi MPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 35 orang
· Polri memisahkan diri dari TNI dan
menjadi Kepolisian Negara · ABRI
diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Udara, Darat, dan Laut.
9.) Pemilihan Umum
1999 Untuk melaksanakan Pemilu yang diamanatkan oleh MPR, B.J. Habibie
mengadakan beberapa perubahan yaitu,
a) Menggunakan
asas Luber dan Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil)
b) Mencabut 5 paket
undang-undang tentang politik yaitu undang-undang tentang Pemilu; Susunan,
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR/DPR; Partai Politik dan Golkar; Referendum;
serta Organisasi Massa
c) Menetapkan 3
undang-undang politik baru yaitu Undang-undang Partai Politik; Pemilihan Umum;
dan Susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
d) Badan pelaksana
pemilihan umum dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang terdiri atas
wakil dari pemerintahan dan partai politik serta pemilihan umum.
[3] Kegagalan Pemerintahan Presiden
BJ.Habibie yaitu :
1. Diakhir kepemimpinannya nilai tukar
rupiah kembali meroket
2. Tidak dapat meyakinkan investor untuk
tetap berinvestasi di indonesia.
3. Kebijakan yang di lakukan tidak
dapat memulihkan perekonomian indonesia dari krisis.
SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEHARTO
Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan
dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru
merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan
pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga
dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa
lampau, dan berusaha untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan
stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Melalui
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk
membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional.
Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah
Kabinet Ampera.
Dalam kabinet
baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan
kabinet. Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966,
jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai
perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang
disempurnakan.
Sesuai dengan
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan
Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967Presiden
Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut
PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No.
13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan
kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga
tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12
Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara
dari Presiden Soekarno, dan
mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia.
Dengan dikeluarkannya
Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya
instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968
Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XLIV/MPRS/1968.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1.1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama
pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi
Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan
stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni :
·
Memperbaiki kehidupan rakyat terutama
di bidang sandang dan pangan
·
Melaksanakan pemilihan umum dalam batas
waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
·
Melaksanakan politik luar negeri yang
bebas aktif untuk kepentingan nasional
·
Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya
·
Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan
Soeharto sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah
Kabinet
Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang
meliputi:
1.
Menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi
2.
Menyusun dan melaksanakan Pemilihan
Umum
3.
Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30
September
4.
Membersihkan aparatur Negara di pusat
dan daerah dari pengaruh PKI.
1.2. Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:
·
Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret
1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
·
Menyatakan PKI sebagai organisasi
terlarang di Indonesia
·
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan
15 orang menteri yang dianggap terlibatGerakan
30 September 1965.
1.3. Penyederhanaan Partai Politik
Pada
tahun 1973 setelah
dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan
pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai
politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas
persamaan program. Tigakekuatan social politik itu adalah:
·
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
·
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan
Parkindo
Penyederhanaan
partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang
terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan
ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber
hukum tertinggi di Indonesia.
Selama masa
Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap
Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang
merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh
74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh
5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan
suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh
partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan
bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu
berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam
kenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu
yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai
dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh
Golkar. Keadaan ini
telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam
periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain
itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
1.5. Peran
Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk
menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda
kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian
terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada
ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang
tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR
mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan
pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai
stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI
sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya
dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan
Belanda. Demikian juga
halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan
setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan peran
dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan
politik bangsa selama ini.
1.6. Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4)
Pada
tanggal 12
April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan
gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang
terkenal dengan namaEkaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan
Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah
menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Penataran P4
ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasiPancasila,
sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan
terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Dan sejak tahun 1985 pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua
bentuk organisasi tidak boleh
menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas
tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi,
dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem
sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru,
dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila.
Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri
Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki
kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
2. PENATAAN
POLITIK LUAR NEGERI
Pada masa Orde
Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. Dan MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan kepada
kepentingannasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat,
kebenaran, serta keadilan.
2.1. Kembali
Menjadi Anggota PBB
Pada
tanggal 28
September 1966 Indonesia
kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat
yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964. Kembalinya
Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya
bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga
memulihkanhubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan
negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2.2. Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
2.2.1. Pemulihan
Hubungan dengan Singapura
Dengan
perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan
Indonesia dengan Singapura berhasil
dipulihkan kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966
pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada
Perdana MenteriLee
Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban
kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
2.2.2. Pemulihan Hubungan
dengan Malaysia
Normalisasi
hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di
Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi
perjanjian tersebut adalah:
·
Rakyat Sabah diberi
kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil mengenai
kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
·
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui
pemulihan hubungan diplomatik.
·
Tindakan permusuhan antara kedua belah
pihak akan dihentikan.
Dan pada
tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan
Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia)
dan Tun
Abdul Razak(Malaysia).
2.2.3. Pembekuan
Hubungan dengan RRC
Pada tanggal 1
Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik
dengan Republik
Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan karena RRC
telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan
kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinyapemberontakan tersebut.
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang
dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta
secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media
massanya RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober
1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.
3.1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi
keadaan ekonomi yang
kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan
langkah-langkah:
1) Memperbaharui
kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
2) MPRS mengeluarkan
garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan
rehabilitasi.
Program
pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi
berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana
yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet
Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah Mendobrak kemacetan
ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang
menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
1. Rendahnya
penerimaan negara.
2. Tinggi dan
tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak
dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan
devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Untuk
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru
menempuh cara-cara :
·
Mengadakan operasi pajak
·
Melaksanakan sistem pemungutan pajak
baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung
pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
·
Menghemat pengeluaran pemerintah
(pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan
Negara.
·
Membatasi kredit bank dan menghapuskan
kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara
membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung
laju inflasi pada
akhir tahun 1967-1968, tetapi harga
bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada
bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian
yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu
ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan
valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha
memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa
pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada
prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan
kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.
·
Pertemuan Tokyo
Selain
mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai
2,2 - 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara
kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada
tanggal 19-20 September 1966 pemerintah
Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia
akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk
mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara
kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris,Perancis dan
dicapai kesepakatan sebagai berikut :
1.
Pembayaran hutang pokok dilaksanakan
selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai
dengan 1999.
2.
Pembayaran dilaksanakan secara
angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3.
Selama waktu pengangsuran tidak
dikenakan bunga.
4.
Pembayaran hutang dilaksanakan atas
dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap
sifat atau tujuan kredit.
·
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal
23-24 Februari 1967 diadakan
perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta
kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal
dengan IGGI(Intergovernmental
Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk
memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah
berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran
kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalanOrde Lama. Melalui
pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar
negeri.
Setelah
berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita
memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode
25-30 tahun.
Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:
1.
Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah Indonesia
2.
Meningkatkan kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada
Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman
tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana
politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
1.
Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.
Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Dan Delapan
Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
1.
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2.
Pemerataan memperoleh kesempatan
pendidikan dan pelayanan kesehatan
3.
Pemerataan pembagian pendapatan.
4.
Pemerataan kesempatan kerja
5.
Pemerataan kesempatan berusaha
6.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7.
Pemerataan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah Tanah Air
8.
Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
·
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah
disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama
masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
a) Pelita
I
Pelita I
dilaksanakan mulai 1
April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan
taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap
berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya
adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
b) Pelita
II
Pelita II mulai
berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31
Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II
dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60%
dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun
keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
c) Pelita
III
Pelita III
dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31
Maret 1984. Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
d) Pelita
IV
Pelita IV
dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31
Maret 1989. Titik berat
Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri
yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk
mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
e) Pelita
V
Pelita V
dimulai 1 April 1989 sampai 31
Maret 1994. Pada Pelita
ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu
kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan
ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan
gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
f) Pelita
VI
Pelita VI
dimulai 1 April 1994 sampai 31
Maret 1999. Program
pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun
pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru.
4. KELEBIHAN
SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU
1.
Sukses transmigrasi
2.
Sukses KB
3.
Sukses memerangi buta huruf
4.
Sukses swasembada pangan
5.
Pengangguran minimum
6.
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan
Lima Tahun)
7.
Sukses Gerakan Wajib Belajar
8.
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
9.
Sukses keamanan dalam negeri
10. Investor asing
mau menanamkan modal di Indonesia
11. Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
5. KEKURANGAN
SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU
1.
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
2.
Pembangunan Indonesia yang tidak merata
dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
3.
Munculnya rasa ketidakpuasan di
sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
4.
Kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun-tahun pertamanya
5.
Bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
6.
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non
pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7.
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8.
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai
oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9.
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
10. Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya
kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal
ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara
pasti hancur.
12. Menurunnya
kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi
yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertaikemarau terburuk
dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh,
inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran,
yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di
tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B.
J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Posting Komentar